Kebijakan Moneter

BAB I
PENDAHULUAN
1.1   Latar Belakang
Sebelum merdeka, Indonesia mengalami masa penjajahan yang terbagi dalam beberapa periode. Ada empat negara yang pernah menduduki Indonesia, yaitu Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang. Pada masa penjajahan ini, keadaan ekonomi Indonesia sudah mulai berkembang. Ekonomi pada masa penjajahan masih dipengaruhi oleh kebijakan negara yang menjajah. Hingga pada masa kemerdekaan, Indonesia dapat menentukan keadaan ekonomi yang sesuai dengan Indonesia.
Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil.
Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang. Kebijakan moneter dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak terbatas pada instrumen sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi dipasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.
Dalam menjalankan kebijakan moneter, Bank Indonesia (BI) dibebani Multiple Objectives, yaitu selain menjaga stabilitas mata uang rupiah juga sebagai bank sirkulasi yang memberi pinjaman uang muka kepada pemerintah serta menyediakan kredit likuiditas dan kredit langsung kepada lembaga-lembaga negara dan pengusaha. Kebijakan moneter merupakan instrumen yang sangat diandalkan dalam mengatasi permasalahan ekonomi yang ada pada suatu negara.
1.2   Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memenuhi tugas berupa tulisan untuk mata kuliah Ekonomi Moneter. Tujuan lain dari penulisan ini juga untuk menambah wawasan mahasiswa/i dalam memahami bagaimana keadaan perekonomian Indonesia dari masa ke masa sejak orde baru hingga saat ini, serta kebijakan-kebijakan apa saja yang pernah dibuat oleh pemerintah selama periode tersebut.

1.3   Tinjauan Pustaka
1.3.1. Pengertian Kebijakan Moneter
Menurut Nopirin : kebijakan moneter adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa moneter (biasanya bank sentral) untuk mempengaruhi jumlah uang beredar dan kredit yang pada gilirannya akan mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat (Nopirin, 1992 : 45).
Menurut Iswardono : kebijakan moneter merupakan salah satu bagian integral dari kebijakan ekonomi makro. Kebijakan moneter ditujukan untuk mendukung tercapainya sasaran ekonomi makro, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan, dan keseimbangan neraca pembayaran (Iswardono, 1997 : 126)
Kebijakan moneter yang dikenal terdapat dua macam yaitu, kebijakan moneter kontraktif dan kebijakan moneter ekspansif. Kebijakan ekspansif dilakukan untuk mendorong kegiatan ekonomi, antara lain dengan meningkatkan jumlah uang yang beredar. Sedangkan kebijakan kontraktif dilakukan untuk memperlambat kegiatan ekonomi dengan mengurangi jumlah uang yang beredar (Warjiyo, 2004).
1.3.2 Instrumen Kebijakan Moneter
Alat / instrumen kebijakan moneter yang umum dijelaskan oleh Nopirin (1992 : 46) dan Mishkin (2001 : 435) adalah sebagai berikut :
1.      Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)
2.      Penetapan Tingkat Diskonto (Discount Policy)
3.      Penetapan Cadangan Wajib Minimum (Reserves Requirements)

1.4   Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kondisi perekonomian Indonesia dari masa ke masa?
2.      Adakah masalah yang dihadapi perekonomian Indonesia sejak orde baru sampai sekarang? Jika ada, apa saja masalah-masalah tersebut?
3.      Kebijakan-kebijakan apa saja yang dibuat pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah tersebut?
4.      Apakah setiap kebijakan yang diambil selalu berdampak baik bagi perekonomian Indonesia?













BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik, dan ekonomi (Mahzab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
·         Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang. Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1.000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi Rp 25.000 dibekukan.
·         Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-barang naik 400%.
·         Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1.000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Masalah yang dihadapi :
·         Selama Orde Lama telah terjadi berbagai penyimpangan, di mana ekonomi terpimpin yang mula-mula disambut baik oleh bung Hatta, ternyata berubah menjadi ekonomi komando yang statistik (serba negara). Selama periode 1959 – 1966 ini perekonomian cepat memburuk dan inflasi merajalela karena politik dijadikan panglima dan pembangunan ekonomi.



·         Ada hubungan yang erat antara jumlah uang yang beredar dan tingkat harga (Stephen Genville dalam Anne Booth dan McCawley, ed., 1990).
Tahun
DJUB (%)
DHarga (%)
1960
1961
1962
1963
1964
1965
1966
39
42
99
95
156
280
763
19
72
158
128
135
595
635
Sumber : Bank Indonesia, Laporan Tahunan jakarta, Berbagai Edisi.
Selama tahun 60-an sumber penciptaan uang oleh sektor pemerintah merupakan penyebab terpenting dari naiknya jumlah uang yang beredar.
·         Tahun 1960-an cadangan devisa yang sangat rendah mengakibatkan timbulnya   kekurangan bahan mentah dan suku cadang yang masih harus diimpor dan diperkirakan dalam tahun 1966 sektor industri hanya bekerja 30% dari kapasitas yang ada (Peter McCawley dalam Anne booth dan Peter McCawley, ed., 1990).

a)      Rencana dan Kebijaksanaan Ekonomi
Ø  Rencana : pembangunan nasional semesta berencana (PNSB) 1961-1969. Rencana pembangunan ini disusun berdasarkan “Manfesto Politik 1960” untuk meningkatkan kemakmuran rakyat dengan azas ekonomi terpimpin.
1)      Rencana ini tidak mengikuti kaidah-kaidah ekonomi yang lazim.
2)      Defisit anggaran yang terus meningkat yang mengakibatkan hyperinflasi.
3)      Kondisi ekonomi dan politik saat itu: dari dunia luar (Barat) Indonesia sudah terkucilkan karena sikapnya yang konfrontatif. Sementara di dalam negeri pemerintah selalu mendapat rongrongan dari golongan kekuatan politik “kontra-revolusi” (Muhammad Sadli, Kompas, 27 Juni 1966, Penyunting Redaksi Ekonomi Harian Kompas, 1982).


Ø  Beberapa kebijaksanaan ekonomi – keuangan:
1)      Dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 1/M/61 tanggal 6 Januari 1961: Bank Indonesia dilarang menerbitkan laporan keuangan / statistik keuangan, termasuk analisis dan perkembangan perekonomian Indonesia.
2)      Pada tanggal 28 Maret 1963 Presiden Soekarno memproklamirkan berlakunya Deklarasi Ekonomi dan pada tanggal 22 Mei 1963 pemerintah menetapkan berbagai peraturan negara di bidang perdagangan dan kepegawaian.
3)      Pokok perhatian diberikan pada aspek perbankan. Namun, nampaknya perhatian ini diberikan dalam rangka penguasaan wewenang mengelola moneter di tangan penguasa. Hal ini nampak dengan adanya dualisme dalam mengelola moneter. (Suroso, 1994).
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salah satu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, ekonomi, maupun bidang-bidang lain.
2.2 Masa Pembangunan Ekonomi (1983 – 1987)
·         MASA PASCA OIL BOOM (1983 – 1987)
1.      Harga minyak mencapai US$ 35.00/ per barrel (1981 – 1982), menurun lagi menjadi US$ 29.53/ barrel (1983 – 1984) dan tahun-tahun berikutnya harga berfluktuasi tidak menentu. Sejak tahun 1983 perekonomian Indonesia memasuki masa Pasca Oil Boom (Pasca Bonanza Minyak)
2.      Tahun 1986 terjadi goncangan ekonomi akibat merosotnya harga minyak sampai titik terendah US$ 9,83/ barrel. Program refromasi ekonomi (pemulihan) mulai menampakkan hasil pada tahun 1998.
a.       Masalah-masalah yang dihadapi
Merosotnya harga minyak di pasar internasional sepanjang tahun 1983 – 1987 menimbulkan masalah berat bagi perekonomian Indonesia karena penerimaan sektor migas menurun; defisit transaksi berjalan; dan defisit APBN meningkat. Dampak turunnya harga minyak :
a)      Penerimaan migas dari hasil ekspor menurun 2,0% menjadi US$ 14.449 juta (1983/1987) dan menurun lagi 44,0% menjadi US$ 6.966 juta (1986/1987).
b)      Defisit transaksi berjalan meningkat dari US$2..888 juta menjadi US$4.151 juta (1983/1984) dan meningkat lagi dari US$1.832 juta menjadi US$ 4.051 juta (1986/1987).
c)      Defisit APBN meningkat dari Rp 1.938 triliun menjadi Rp 2.742. triliun (1983/1984) dan meningkat lagi dari Rp 3.571 triliun menjadi Rp 3.589 triliun (1986/1987). Sedangkan anggaran pembangunan berkurang Rp 2.777 triliun atau 23,7% dibanding tahun yang lalu karena pada tahun 1986/1987 banyak proyek yang ditunda / dipangkas. (angka-angka diolah kembali dari laporan BI tahun yang bersangkutan).
b.      Rencana dan Kebijaksanaan Pemerintah
Masa Pasca Oil Boom terjadi pada tahun ke-5 PELITA III (1983/1984) sampai tahun ke-3 PELITA IV (1986/1987). Kebijaksanaan tahun 1983 – 1984 :
·         Devaluasi Rupiah terhadap US Dollar (US$ 1 = Rp 702 menjadi US$ = Rp 970) untuk memperkuat daya saing.
·         Menekan pengeluaran pemerintah dengan pengurangan subsidi dan penangguhan beberapa proyek pembangunan
·         Kebijaksanaan moneter perbankan 1 Juni 1983 (PAKJUN 1983) :
1.      Kebebasan menentukan suku bunga deposito dan pinjaman bagi bank-bank pemerintah
2.      Pemerintah menerbitkan SBI (Sertifikat Bank Indonesia) sejak Februari 1984 dan memberikan fasilitas diskonto keapada bank-bank umum yang mengalami kesulitan likuiditas (SBPU mulai digunakan Februari 1985).
·         Kebijaksanaan Reformasi Ekonomi  1986 – 1987
Kebijaksanaan ini terutama diarahkan untuk mencegah memburuknya neraca pembayaran, mendorong ekspor non migas, mendorong penanaman modal dan meningkatkan daya saing produk ekspor (non migas) di pasar dunia. (Laporan tahunan B.I. 1986/1987).
v  Sektor Fiskal/ Moneter :
1.      Pemerintah melakukan penghematan antara lain dengan mengurangi subsidi; meningkatkan penerimaan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pemungutan pajak.
2.      Devaluasi rupiah terhadap US Dollar sebesar 31% (dari US$ 1 = Rp 970 menjadi US$ 1 = Rp 1.270)
3.      Tidak menaikkan suku bunga instrumen moneter untuk mendorong kegiatan ekonomi dan pengerahan dana serta memperbaiki posisi neraca pembayaran.
4.      Pemerintah menghapus ketentuan pagu swap ke Bank Indonesia untuk mendorong pemasukan modal asing dan dana dari luar negeri (Laporan Tahunan B.I. 1986/ 1987).
v  Sektor Riil (struktural) :
1.      PAKMI – 1986 (6 Mei 1986) menyangkut ekspor: kemudahan tata niaga, fasilitas pembebasan dan pengembalian bea masuk, pembentukan kawasan berikat.
2.      PAKTO – 1986 ( 25 Oktober 1986) menyangkut impor: mengganti “sistem non tarif” dengan “sistsem tarif” untuk mencegah manipulasi harga barang. Penyempurnaan bea masuk dan bea masuk tambahan.
3.      PAKDES – 1986 (29 Desember 1986) : memberi kemudahan-kemudahan kepada perusahaan-perusahaan industri strategis tertentu. (Laporan Tahunan B.I. 1986/1987).
c.       Beberapa hasil Reformasi Ekonomi 1986 – 1987 :
·         Laju pertumbuhan ekonomi meningkat dari 4,9% (1987) menjadi 5,8% (1988)
·         Nilai total ekspor meningkat dari US$ 17.206 juta (1987) menjadi US$ 19.509 juta (1988). Prosentasi ekspor non migas meningkat dari 50,2% (1987) menjadi 59,8% (1988).
·         Defisit transaksi berjalan menurun : US$ 2.269 juta (1987) menjadi US$1.552 juta (1988). (Statistik Keuangan 1991/1992, BPS)
Meskipun adanya perbaikan dalam lingkungan ekonomi eksternal, termasuk pemulihan harga minyak, telah membantu Indonesia dalam proses penyesuaiannya, usaha dan tindakan setelah tahun 1986 berupa kebijaksanaan-kebijaksanaan struktural dan finansial yang tepat telah memainkan peranan penting. Kebijaksanaan-kebijaksanaan penyesuaian yang dijalankan sejak tahun 1986 telah memperkuat kemampuan ekonomi Indonesia untuk berdaya tahan terhadap goncangan yang merugikan (Rustam Kamaluddin, 1989).
2.3 Kegiatan Ekonomi Memanas (OVERHEATED) SEJAK 1990
Ekspansi kegiatan ekonomi selama tahun-tahun 1989-1991 ada sangkut pautnya dengan kebijaksanaan  deregulasi pemerintah, yang sudah mulai dilaksanakan secara bertahap sejak tahun 1983. Rangkaian tindakan deregulasi di atas memberi dorongan kuat terhadap kegiatan dunia swasta, yang beberapa tahun terakhir ini telah menjadi faktor penggerak dalam ekspansi ekonomi.
Ekspansi ekonomi di atas telah disertai oleh ekspansi moneter yang besar, sebagai akibat naiknya permintaan domestik (domestic demand) yang mencakup tingkat investasi maupun tingkat konsumsi. Ekspansi ekonomi yang ditandai oleh laju pertumbuhan  pesat selama tiga tahun berturut-turut ini dianggap terlalu panas (overheated) dari sudut kestabilan keuangan moneter (Soemitro Djojokusumo, 1993).
a.       Masalah-masalah yang dihadapi
Kecenderungan terjadinya ekspansi ekonomi berbarengan dengan ekspansi moneter, sehingga ekonomi memanas (overheated) jika dibiarkan berlangsung terus akan membahayakan kestabilan harga dalam negeri dan melemahkan kedudukan negara kita dalam hubungan ekonomi internasional (khususnya di bidang neraca pembayaran luar negeri).
IndikatorEkspansi Ekonomi
·         Laju pertumbuhan ekonomi yang meningkat : 5,8% (1988), 7,5% (1989), 7,1 (1990)
·         Investasi dunia swasta yang meningkat : 15% (1983), 17% (1991). Pangsa investasi asing berkisar 25% dari total nilai investasi swasta domestik.
Indikator Ekspansi Moneter
·         Jumlah uang beredar meningkat : 40% (189), 44% (1990)
·         Kredit perbankan meningkat : 48% (1989), menjadi 54% (1991)
·         Laju inflasi meningkat : 5,5% (1988), 6,0% (1989) 9,5% (1990-1991)
·         Defisit tahun berjalan meningkat : US$1.6 miliar (1989), US$3.7 miliar (1990) dan US$4.5 miliar (1991). (Soemitro Djojohadikusumo, 1993)
b.       Rencana dan Kebijaksanaan Pemerintah
Berlangsungnya proses pemulihan ekonomi sampai kegiatan ekonomi meningkat cepat sehingga memanas (overheated) berlangsung selama tahun ke 4, ke 5 pelaksanaan PELITA IV dan tahun ke 1 PELITA V (1987/1988 – 1989/1990) dan ekonomi memanas ini berlangsung terus sepanjang PELITA V  (1989/1990 – 1993/1994)
·         Kondisi ekonomi yang memanas perlu didinginkan dengan kebijaksanaan uang ketat.
·         Kebijaksanaan uang ketat (TMP = tight money policy)
Untuk “mendinginkan” kondisi ekonomi yang terlalu panas dilakukan kebijaksanaan fiskal dan moneter/ perbankan :
·         Meningkatnya penerimaan dalam negeri : Rp 28.73 triliun (1989/1990), Rp 39,54 triliun (1990/1991), Rp 41,58 triliun (1991/1992)
·         Moneter / perbankan :
1.      Membatasi kredit bank melalui politik diskonto (suku bunga) didukung operasi pasar terbuka dengan instrument SBI dan SBPU.
2.      Mengawasi likuiditas bank melalui ketentuan LDR (Loan to Deposit Ratio) dann CAR (Capital Adequacy Ratio).
Dampak TMP : pertumbuhan ekonomi menurun dari 6,6% (1991) menjadi 6,3% (1992) dan inflasi menurun dari 9,5% (1991) menjadi 4,9% (1992). (Soemitro Djojohadikusumo, 1993: angka-angka : Nota Keuangan dan Rancangan APBN 1994/1995).

2.4 Kegiatan Ekonomi OVERLOADED TAHUN 1996
Pertumbuhan jumlah uang beredar (M2), meningkatnya inflasi, investasi, kredit bank dan kuatnya arus modal luar negeri, terutama yang bersumber dari hutang swasta luar negeri serta defisit transaksi berjalan yang makin membengkak, menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi Indonesia berlangsung melampaui daya dukung (kemampuan) yang ada.
Hal ini menunjukkan, bahwa kondisi ekonomi yang overheated sejak tahun 1990, mulai tahun 1995/1996 menjadi overloaded, karena :
·         Meningkatnya permintaan domestik tidak diimbangi dengan kemampuan menambah penawaran, sehingga harga-harga meningkat
·         Maraknya kegiatan investasi maupun konsumsi, mendorong permintaan kredit perbankan yang tidak diimbangi pertambahan dana bank menyebabkan naiknya tingkat suku bunga pinjaman.
·         Melebarnya selisih suku bunga dalam dan luar negeri, mendorong masuknya modal luar negeri terutama hutang swasta, sehingga beban angsuran hutang luar negeri meningkat.
·         Bersamaan dengan meningkatnya impor non migas yang tidak diimbangi dengan peningkatan ekspor non migas, menyebabkan defisit transaksi berjalan makin membengkak.
a.       Masalah-masalah yang dihadapi
Meningkatnya permintaan domestik, baik permintaan untuk konsumsi maupun investasi, yang tidak disertai dengan meningkatnya penawaran yang memadai, menimbulkan  tekanan pada gangguan keseimbangan internal dan keseimbangan eksternal (Laporan Tahunan B.I. 1995/1996).
v  Gangguan Keseimbangan Internal :
1.      Meningkatnya pendapatan nasional dari Rp 300,6 triliun menjadi Rp 323,5 triliun dan pengeluaran konsumsi rumah tangga dari Rp 194,1 triliun menjadi Rp 206,3 triliun, yang tidak diimbangi dengan meningkatnya penawaran, menyebabkan inflasi meningkat menjadi 8,9%.
2.      Meningkatnya investasi dari 15,3% menjadi 16,4%, laju kenaikan  kredit rata-rata 24,8% (1993/1994 – 1995/1996) melebihi kenaikan dana bank rata-rata sebesar 23,9% per tahun. Akibatnya suku bunga pinjaman meningkat dari 15,3% menjadi 16,4%.
v  Gangguan keseimbangan eksternal
1.      Impor non migas mengalami pertumbuhan sampai 19,8%, sedangkan ekspor non migas hanya meningkat 13,9%. Terjadi tekanan pada Neraca pembayaran, sehingga defisit transaksi berjalan meningkat rationya terhadap PDB dari 2% menjadi 3%. Akibatnya sektor luar negeri menjadi faktor pengurang pada pembentukan PDB.
2.      Meningkatnya kebutuhan investasi yang tidak diimbangi pergambahan dana bank dan adanya perbedaantingkat suku bunga dalam negeri (lebih tinggi) dengan suku bungan di luar negeri, menyebabkan surplus lalu  lintas modal meningkat dari US$ 4,8 miliar menjadi US$11.4 miliar, dimana sektor pemerintah defisit US$0,2 miliar sedangkan sektor swasta surplus US$11.6 miliar, terutama dari hutang swasta ke luar negeri (laporan Tahunan, B.I. 1995/1996).
Memperhatikan perkembangan ekonomi sebagaimana yang ditunjukkan oleh indikator-indikator ekonomi di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya fundamental ekonomi Indonesia pada tahun1995/1996 sudah lemah. Hal ini bertentangan dengan pernyataan pejabat resmi yang selalu meyakinkan masyarakat, bahwa masyarakat tidak perlu khawatir karena fundamental ekonomi masih ”kuat”.
b.      Rencana dan Kebijaksanaan Pemerintah
Hingga awal tahun 1997 dapat dikatakan bahwa hampir semua orang, di Indonesia maupun dari badan-badan dunia seperti Bank Dunia, IMF dan ABD tidak menduga bahwa beberapa negara di Asia akan mengalami suatu krisis moneter atau ekonomi yang yang sangat besar sepanjang sejarah dunjia sejak akhir perang dunia kedua. Walaupun sebenarnya sejak tahun 1995 ada sejumlah lembaga keuangan dunia (IMF dan Bank Dunia) sudah beberapa kali memperingati Thailand dan Indonesia bahwa ekonomi kedua negara tersebut sudah mulai memanas (overheating economy) kalau dibiarkan terus (tidak segera didinginkan) akan berakibat buruk (Tulus Tambunan, 1998).
v  KebijaksanaanTahun 1995 – 1996
a)      Kebijaksanaan moneter : diarahkan untuk mengendalikann sumber-sumber ekspansi M2, khususnya meningkatnya kredit bank dan arus modal luar negeri melalui :
1)      Mekanisme operasi pasar terbuka (OPT) dengan instrumen SBI dan SBPU
2)      Merubah ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) menjadi 3%.
3)      Merubah ketentuan kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) secara bertahap mencapai 12%.
b)      Kebijaksanaan Valuta Asing/ Devisa : diarahkan untuk mengurangi dorongan masuknya modal asing, terutama yang berjangka pendek dengan cara :
1)      Meningkatkan fleksibelitas nilai tukar rupiah melalui pelebaran spread kurs jual dan kurs beli rupiah terhadap Dollar Amerika
2)      Menerapkan penggunaan batas kurs intervensi (perbedaan batas atas dan batas bawwah sebesar Rp 66,00)
3)      Melakukan kerja sama bilateral dengan otoritas moneter Malaysia, Singapura, Thailand, Hong Kong, Philipina melalui transaksi repurchases agreement (repo) surat-surat berharga.
c)      Kebijaksanaan sektor Riil 4 Juni 1996 ; dalam rangka meningkatkan efisiensi dan ketahanan ekonomi serta meningkatkan efisiensi dan ketahanan ekonomi serta meningkatkan daya saing produksi nasional, meliputi bidang :
1)      Bidang  impor mencakup,a ntara lain adalah penyederhanaan tata niaga impor.
2)      Dibidang ekspor mencakup, antara lain penghapusan pemeriksaan barang ekspor oleh surveyor.
3)      Iklim Usaha

2.5 Krisis Ekonomi Bulan JULI 1997 Menjadi Krisis Ekonomi
Tidak mudah menentukan apa faktor-faktor utama penyebab krisis ekonoim di Indonesia, karena setiap gejolak ekonomi dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang langsung (drect factors) dan  faktor-faktor yang tidak langsung (indirect factors) yang mempengaruhinya. Sselain itu dapat pula dibedakan aadanya faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal, yang mempengaruhi terjadinya krisis ekonomis, baik yang bersifat ekonomi maupun yang bersifat noneknomis.
Selain faktor-faktor internal dan eksternal, ada tiga teori alternatif yang dapat juga dipakai sebagai basic framework untuk menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya krisis ekonomi di Asia (Tulus Tambunan, 1998).
v  Faktor-faktor Internal
1.      Fundamental ekonomi nasional yang merupakan penyebab krisis ekonomi di Indonesia adala fundamental makro misalnya pertumbuhan ekonomi,  pendapatan nasional, tingkat inflasi, jumlah uang beredar, jumlah pengangguran, jumlah investasi, keseimbangan neraca pembayaran, cadangan devisa dan tingkat suku bunga.
2.    Dilihat dari fundamental ekonomi makro, bukan hanya sektor moneter tapi juga sektor riil mempunyai kontribusi yang besaar terhadap terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, karena dua alasan:
o   Perkembangann sektor moneter sebenarnya sangat tergantung dari perkembangan sektor riil, karena uang (valas) sudah menjadi komoditas yang diperdagangkan seperti produk-produk dari sektor riil.
o   Perubahan cadangan valas sangat sensitif  terhadap perubahan sektor riil (perdagangan luar negeri) dan salah satu penyebab depresiasi nilai tukar rupiah yang menciptakan krisis ekonomi di Indonesia adalah karena terbatasnya cadangan valas di Bank Indonesia.
o    Indonesia akhirnya juga digoncang oleh “pelarian” dollar AS. Ini mencerminkan bahwa ekonomi Indonesia sangat tergantung pada modal jangka pendek dari luar negeri (short-term capital inflow). Sumber utama pertumbuhan jumlah cadangan devisa Indonesia, bukan dari hasil ekspor neto, melainkan dari arus modal masuk jangka pendek (surplus neraca kapital) (Tulus Tambunan, 1998).
v  faktor eksternal
1.    Jepang dan Eropa Barat mengalami kelesuan pertumbuhan ekonomi sejak awal dekade 90-an dan tingkat suku bunga sangat rendah. Dana sangat melimpah sehingga sebagian besar arus modal swasta mengalir ke negara-negara Asia Tenggara dan Timur, yang akhirnya membuat krisis.
2.    Daya saing Indonesia di Asia yang lemah, sedang nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terlalu kuat (overvalued). (Tulus Tambunan, 1998).
v  Teori-teori Alternatif
1.      Teori konspirasi, krisis ekonomi sengaja ditimbulkan oleh negara-negara maju tertentu, khususnya Amerika, karena tidak menyukai sikap arogansi ASEAN selama ini.
2.      Teori contagion, yaitu karena adanya contagion effect; menularnya amat cepat dari satu negar ake negara lain, disebabkan investor asing merasa ketakutan.
3.      Teori business cycle (konjungtur), karena proses ekonomi berdasarkan  mekanisme pasar (ekonomi kapitalis) selalu menunjukkan gelombang pasang surut dalam bentuk naik turunnya variabel-variabel makro (Tulus Tambunan, 1998).
v  Faktor-faktor non-ekonomi
1)      Dampak psikologis dari krisis di Indonesia adalah merebaknya penomena kepanikan, sehingga para pemilik modal internasional memindahkan modal mereka dari Indonesia secara tiba-tiba.
2)      Kepanikan ini kemudian diikuti oleh warga negara di Indonesia, sehingga sekelompok orang (spekulan) berusaha meraih keuntungan dengan cara menukar sejumlah besar rupiah terhadap dollar AS. (Tulus Tambunan, 1998).

MASALAH-MASALAH YANG DIHADAPI SETELAH KRISIS
Yang menjadi persoalan penting sekarang ini bagi Indonesia adalah menyangkut biaya krisis atau besarnya “pengorbanan” yang harus dibayar akibat krisis dan lamanya pengorbanan  itu harus dipikul. Setelah setahun krisis berkalngsung, ternyata biaya krisis yang harus dibayar masyarakat Indonesia lebih besar dibandingkan di Thailand, Korea Selatan atau Malaysia.
·                Biaya-biaya sosial : kerusuhan di mana-mana sejak black May 1998, banyak orang kekurangan gizi, anak putus sekilah meingkat,  kriminalitas makin tinggi.
·                Biaya-biaya ekonomi : pendapatan per kapita anjlok secara drastis, laju pertumbuhan PDB menjadi negatif, jumlah pengangguran dan kemiskinan meningkat, bencana kelaparan ini banyak lokasi, hiperinflasi, dan dengan defisit anggaran pemerintah dan neraca pembayaran membengkak. (Tulus Tambunan, 1998).
RENCANA DAN PROGRAM PEMULIAHAN EKONOMI
a.       Rencana: menurut Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/ Kepala Bappenas, Boediono, pemerintah telah menetapkan tempat tahapan strategis :
1.      Tahap penyelematan (1 – 2 tahun sejak 1998/1999)
2.      Tahap pemulihan yang sifatnya tumpang tindih dengan tahap sebelumnya (2 tahun)
3.      Tahap pemantapan (1-2 tahun) setelah selelsai tahap penyelamatan.
4.      Tahap pembangunan yang dapat dimulai kembali apabila saluran krisis dapat ditanggulangi.(Kompas, 18 September 1998)
b.      Program Pemulihan dan Kebijaksanaan Ekonomi
Setelah menyadari bahwa merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tidak dapat dibendung lagi dan cadangan dollar AS di BI sudah menipisi, maka bulan Nopember 1997 Indonesia minta bantunan IMF untuk mendapat bantuan dana (Tulus Tambunan, 1998) :
o   Pinjaman tahap pertama 3 mioliar dollar AS untuk memperkuat dan menstabilkan nilai rupiah, diterima bulan Nopember 1997.
o   Bulan Januari 1998 ditanda tangani nota kesepakatan atau letter of inten (I) yang memuat 50 point/ ketentuan: kebijaksanaan ekonomi makro (fiskal-moneter) restrukturisassi keuangan dan reformasi struktural.
o   Bulan Maret 1998 dilakukan perundingan baru lagi dan bulan April 1998 ditanda tangani memorandum tambahan atau letter of inten (II)
Ada lima memorandum tambahan yang disepakati :
1.      Program stabilisasi pasar uang dan mencegah hiperinflasi.
2.      Restrukturisasi perbankann dalam rangka penyehatan sistem perbankan nasional.
3.      Reformasi struktur yang mencakup upaya-upaya dan sasaran yang telah disepakati (letter of inten-II)
4.      Penyelesaian utang luar negeri swasta (corporate debt).
5.      Bantuan untuk rakyat kecil (kelompok ekonomi lemah)
c.       Beberapa langkah penting, sesuai kesepakatan IMF :
1.      Kebijaksanaan moneter
2.      Kebijaksanaan perbankan
3.      Program kesempatan kerja
4.      Reformasi  dan privatisasi BUMN
5.      Restrukturisasi ULN swasta (Tulus Tambunan, 1998).
d.      Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) meliputi :
1.      Program Ketahanan Pangan
2.      Program padat karya
3.      Program perlindungan sosial
4.      Program pemberdayaan ekonomi rakyat

2.6 Keadaan ekonomi pada zaman B.J. Habiebie (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999)
Presiden BJ Habibie adalah presiden pertama di era reformasi. Dalam periode awal menjabat presiden beliau masing dianggap berbau rezim Orde Baru dan kepanjangan dari tangan Soeharto, maklum dia adalah salah satu orang yang paling dekat dan di percaya oleh Soeharto. Sejak krisis moneter yang melanda Indonesia pada pertengahan tahgun 1997, perusahaan perusahaan swasta mengalami kerugaian yang tidak sedikit, bahkan pihak perusahaan mengalami kesulitan memenuhi kewajibannya untuk membayar gaji dan upah pekerjanya. Keadaan seperti ini menjadi masalah yang cukup berat karena disatu sisi perusahaan mengalami kerugaian yang cukup besar dan disisi lain para pekerja menuntut kenaikan gaji. Tuntutan para pekerja untuk menaikkan gaji sangat sulit dipenuhi oleh pihak perusahaan, akhirnya banyak perusahaan yang mengambil tindakan untuk mengurangi tenaga kerja dan terjadilah PHK. Kondisi perekonomian semakin memburuk, karena pada akhir tahun 1997 persedian sembilan bahan pokok sembako di pasaran mulai menipis. Hal ini menyebabkan harga-harga barang naik tidak terkendali. Kelaparan dan kekurangan makanan mulai melanda masyarakat. Ini adalah kesalahan Pemerintah   Orde Baru yang mempunyai tujuan menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai negara industri, namun tidak mempertimbangkan kondisi riil di Masyarakat Indonesia yang merupakan sebuah masyarakat agrasis dan tingkat pendidikan yang tergolong masih rendah. Dan ujung-ujungnya masyarakat miskin Indonesia menjadi bertambah dan bertambah pula beban pemerintah dalam mendongkrak perekonomian guna meningkatkan kesejehteraan rakyat.
Habibie yang menjabat sebagai presiden menghadapi keberadaan Indonesia yang serba parah. Langkah-langkah yang dilakukan oleh Habibie adalah berusaha untuk dapat mengatasi krisis ekonomi dan untuk menjalankan pemerintahan, Presiden Habibie tidak mungkin dapat melaksanakannya sendiri tanpa dibantu oleh menteri-menteri dari kabinetnya. Pada tanggal 22 Mei 1998, Presiden Republik Indonesia yang ketiga B.J. Habibie membentuk kabinet baru yang dinamakan Kabinet Reformasi Pembangunan. Kabinet itu terdiri atas 16 orang menteri, dan para menteri itu diambil dari unsur-unsur militer (ABRI), Golkar, PPP, dan PDI.
·         Kebijakan yang dilakukan pada zaman B.J. Habiebie
Untuk menyelesaikan krisis moneter dan perbaikan ekonomi Indonesia, BJ Habibie melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
1.      Merekapitulasi perbankan dan menerapkan independensi Bank Indonesia agar lebih fokus mengurusi perekonomian. Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independent berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. Dalam rangka mencapai tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia didukung oleh 3 (tiga) pilar yang merupakan 3 (tiga) bidang utama tugas Bank Indonesia yaitu :
·         Menetapkan dan melaksanakan kebijaksanaan moneter
·         Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
·         Mengatur dan mengawasi Bank

2.      Melikuidasi beberapa bank bermasalah.Likuiditas adalah kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Pengertian lain adalah kemampuan seseorang atau perusahaan untuk memenuhi kewajiban atau utang yang segera harus dibayar dengan harta lancarnya. Banyaknya utang perusahaan swasta yang jatuh tempo dan tak mampu membayarnya dan pada akhirnya pemerintah mengambil alih bank-bank yang bermasalah dengan tujuan menjaga kestabilan ekonomi Indonesia yang pada masa itu masih rapuh.
3.      Menaikan nilai tukar rupiahSelama lima bulan pertama tahun 1998, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berfluktuasi. Selama triwulan pertama, nilai tukar rupiah rata-rata mencapai sekitar Rp9200,- dan selanjutnya menurun menjadi sekitar Rp8000 dalam bulan April hingga pertengahan Mei. Nilai tukar rupiah cenderung di atas Rp10.000,- sejak minggu ketiga bulan Mei. Kecenderungan meningkatnya nilai tukar rupiah sejak bulan Mei 1998 terkait dengan kondisi sosial politik yang bergejolak. nilai tukar rupiah menguat hingga Rp. 6500 per dollar AS di akhir masa pemerintahnnya.
4.      Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang diisyaratkan oleh IMF.Pada tanggal 15 januari 1998 (masih orde baru ) Indonesia telah menandatangani 50 butir kesepakatan (letter of intent atau Lol) dengan IMF. Salah satunya adalah memberikan bantuan (pinjaman) kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) merupakan konsekuensi diterbitkannya kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Kepres No.26/1998 dan Kepres No.55/1998. Keppres itu terbit setelah sebelumnya didahului munculnya Surat Gubernur BI (Soedradjad Djiwandono, ketika itu) tertanggal 26 Desember 1997 kepada Presiden dan disetujui oleh Presiden Soeharto sesuai surat Mensesneg No.R 183/M.sesneg/12/19997. Atas dasar hukum itulah Bank Indonesia melaksanakan penyaluran BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) kepada perbankan nasional. Total BLBI yang dikucurkan hingga program penyehatan perbankan nasional selesai mencapai Rp144,5 triliun, dana itu tersalur ke 48 bank.
5.      Mengesahkan UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan yang Tidak Sehat
6.      Mengesahkan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


2.7 Keadaan eknomi pada zaman Gusdur (20 Oktober 1999-23 Juli 2001)
Pada pertengahan tahun 1999 di lakukan pemilihan umum, yang akhirnya di menangi oleh partai demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Partai Golkar mendapat posisi ke dua, yang sebenarnya cukup mengejutkan banyak kalangan di masyarakat. Bulan Oktober 1999 dilakukan SU MPR dan pemilihan presiden di selenggarakan pada tanggal 20 oktober 1999. KH abdurrahman wahid atau di kenal dengan sebutan gus dur terpilih sebagai presiden RI ke empat dan mega wati sebagai wakil presiden. Tanggal 20 oktober menjadi akhir akhir dari pemerintahan transisi, dan awal dari pemerintahan Gus Dur yang sering di sebut juga pemerintah reformasi.
Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya (1999) kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai positif walaupun tidak jauh dari 0%  dan pada tahun 2000 proses pemilihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi, dengan laju pertumbuhan hampir mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI) juga rendah, mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam mengerti sudah mulai stabil.
·         Kebijakan yang dilakukan pada zaman Gusdur
Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman wahid pun belum ada tindakan yang cukup berati untuk menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan. Kepemimpinan Abdurraman Wahid berakhir karena pemerintahannya mengahadapi masalah konflik antar etnis dan antar agama.




2.8 Keadaan ekonomi pada masa Megawati (23 Juli 2001-20 Oktober 2004)
Pemerintahan Megawati mewarisi kondisi perekonomian Indonesia yang jauh lebih buruk daripada masa pemerintahan Gusdur. Inflasi yang dihadapi Kabinet Gotong Royong pimpinan Megawati juga sangat berat. Rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Megawati disebabkan antara lain masih kurang berkembangnya investor swasta, baik dalam negeri mauoun swasta. Melihat indikator lainnya, yakni nilai tukar rupiah, memang kondisi perekonomian Indonesia pada pemerintahan Megawati lebih baik. Namun tahun 1999 IHSG cenderung menurun, ini disebabkan kurang menariknya perekonomian Indonesia bagi investor, kedua disebabkanoleh tingginya suku bunga deposito.
·         Kebijakan yang dilakukan pada zaman Megawati
Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasai persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
1.      Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun
2.      Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing. Megawati bermaksud mengambil jalan tengah dengan menjual beberapa asset Negara untuk membayar hutang luar negeri. Akan tetapi, hutang Negara tetap saja menggelembung karena pemasukan Negara dari berbagai asset telah hilang dan pendapatan Negara menjadi sangat berkurang.

2.9 Keadaan ekonomi pada masa SBY  (20 Oktober 2004-2014)
Pada pemerintahan SBY kebijakan yang dilakukan adalah mengurangi subsidi Negara Indonesia, atau menaikkan harga Bahan Bahan Minyak (BBM), kebijakan bantuan langsung tunai kepada rakyat miskin akan tetapi bantuan tersebut diberhentikan sampai pada tangan rakyat atau masyarakat yang membutuhkan, kebijakan menyalurkan bantuan dana BOS kepada sarana pendidikan yang ada di Negara Indonesia. Akan tetapi pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dalam perekonomian Indonesia terdapat masalah dalam kasus Bank Century yang sampai saat ini belum terselesaikan bahkan sampai mengeluarkan biaya 93 miliar untuk menyelesaikan kasus Bank Century ini.
Kondisi perekonomian pada masa pemerintahan SBY mengalami perkembangan yang sangat baik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh pesat di tahun 2010 seiring pemulihan ekonomi dunia pasca krisis global yang terjadi sepanjang 2008 hingga 2009.
Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai 5,5-6 persen pada 2010 dan meningkat menjadi 6-6,5 persen pada 2011. Dengan demikian prospek ekonomi Indonesia akan lebih baik dari perkiraan semula. Sementara itu, pemulihan ekonomi global berdampak positif terhadap perkembangan sektor eksternal perekonomian Indonesia. Kinerja ekspor nonmigas Indonesia yang pada triwulan IV-2009 mencatat pertumbuhan cukup tinggi yakni mencapai sekitar 17 persen dan masih berlanjut pada Januari 2010.
Salah satu penyebab utama kesuksesan perekonomian Indonesia adalah efektifnya kebijakan pemerintah yang berfokus pada disiplin fiskal yang tinggi dan pengurangan utang Negara.Perkembangan yang terjadi dalam lima tahun terakhir membawa perubahan yang signifikan terhadap persepsi dunia mengenai Indonesia. Namun masalah-masalah besar lain masih tetap ada. Pertama, pertumbuhan makroekonomi yang pesat belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat secara menyeluruh. Walaupun Jakarta identik dengan vitalitas ekonominya yang tinggi dan kota-kota besar lain di Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat, masih banyak warga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan.
·         Kebijakan yang dilakukan pada zaman SBY
o   Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid I  (Era SBY- JK) = (2004-2009)
a.       Kebijakan Fiskal
Ø  Subsidi:
o   Subsidi Energi: BBM (Pertamina) dan Listrik (PLN)
o   Subsidi non energi
Ø  Pajak
a)      Pajak Dalam Negeri
1.      Pajak Penghasilan: PPh Migas dan PPh Non Migas
2.      Pajak pertambahan nilai
3.      Pajak bumi dan bangunan
4.      BPHTP
5.      Cukai
6.      Pajak lainnya

b)      Pajak Perdagangan Internasional
1.      Bea Masuk
2.      Bea Keluar
Ø  Pinjaman Luar Negeri
b.      Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter mengenai lima aspek penting:  kebijakan penguatan stabilitas moneter, kebijakan mendorong peran intermediasi perbankan, kebijakan meningkatkan ketahanan perbankan, penguatan kebijakan makroprudensial, dan penguatan fungsi pengawasan.
c.       Kebijakan Segi Penawaran
Membuat Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri
Peningkatan investasi melalui perbaikan ilkim investasi di pusat dan daerah sehingga kesempatan kerja baru dapat tercipta.
o   Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid II (Era SBY–BOEDIONO) = (2009-2014)
Pada periode ini, pemerintah khususnya melalui Bank Indonesia menetapkan empat kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional negara yaitu :
Ø  BI rate
Ø  Nilai tukar
Ø  Operasi moneter
Ø  Kebijakan makroprudensial untuk pengelolaan likuiditas dan makroprudensial lalu lintas modal.





BAB III
 PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Keadaan ekonomi Indonesia mengalami kenaikan dan penurunan pada setiap zaman pemerintahan. Begitu juga dengan kebijakan yang dilakukan oleh pemimpin pada masanya. Kebijakan yang dilakukan berbeda-beda, sesuai dengan keadaan ekonomi yang dihadapi. Keadaan ekonomi yang parah terjadi pad tahun 1997-1998. Indonesia mengalami krisis ekonomi dan melemahnya rupiah terhadap dollar, serta kerusuhan di dalam Indonesia.
Setelah melewati masa krisis moneter tahun 1997-1998, kita memasuki era Reformasi. Pembangunan di era Reformasi ini merupakan suatu bentuk perbaikan di segala bidang sehingga belum menemukan suatu arah yang jelas. Pembangunan masih tarik-menarik mana yang harus didahulukan. Namun setidaknya reformasi telah membawa Indonesia untuk menjadi lebih baik dalam merubah nasibnya tanpa harus semakin terjerumus dalam kebobrokan moral manusia-manusia sebelumnya.









DAFTAR PUSTAKA
http://witriya.wordpress.com/makalah-permasalahan-kebijakan-moneter/
http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/58012/Dewi%20Asiyah%20-%20100810101001_1.pdf?sequence=1
http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_moneter
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5949/1/98783-AHMAD%20FAUZI-FSH.PDF
http://sopyanhakimgunadarma.blogspot.com/2011/04/sejarah-ekonomi-indonesia-sejak-orde.html
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2014/05/03/-kondisi-ekonomi-di-masa-sby-650970.html
Tambunan Tulus, 2001,  Perekonomian Indonesia: teori dan temuan empiris,Jakarta: Ghalia Indonesia
Soemitro Djojohadikusumo, 1993: angka-angka : Nota Keuangan dan Rancangan APBN 1994/1995
http://www.bps.go.id/
Djojohadikusumo Sumitro, 1985, Pembangunan Ekonomi Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
http://www.bi.go.id
Muhammad Sadli, Kompas, 27 Juni 1966, Penyunting Redaksi Ekonomi Harian Kompas, 1982

Share this article :
 

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ARTIKEL MAIN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger